'/> Adab - Adat Berpuasa, Sahur, Buka Puasa, Batal Puasa, Hal Yang Boleh Dikala Puasa -->

Info Populer 2022

Adab - Adat Berpuasa, Sahur, Buka Puasa, Batal Puasa, Hal Yang Boleh Dikala Puasa

Adab - Adat Berpuasa, Sahur, Buka Puasa, Batal Puasa, Hal Yang Boleh Dikala Puasa
Adab - Adat Berpuasa, Sahur, Buka Puasa, Batal Puasa, Hal Yang Boleh Dikala Puasa
Adab - Adab Berpuasa

A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa andal kitab ialah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari Salman radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)

Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu, ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian dia berdiri menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan [1] dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa ketika sebelum adzan Shubuh ialah perbuatan bid’ah lantaran dalam fatwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah radiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan ember (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari ember (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)

Hukum makan sahur ialah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, lantaran sebenarnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma bila ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin ialah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum hingga dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah Ta'ala :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
Berkata As-Sa’di rahimahullah: “Padanya terdapat (dalil) bahwa bila (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka bila memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih berpengaruh untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ialah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:
“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan lantaran adzan. Namun di waktu kini (banyak) insan menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)

Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa ialah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radiyallahu 'anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)

Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa insan berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Mempercepat berbuka puasa ialah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah radiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak terang selama insan mempercepat buka puasa lantaran Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk adat kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu 'anha :

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari adat kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan ajun di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)

Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan masakan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa ialah kurma. Anas bin Malik radiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah berair urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu , bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada impian Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud ialah iqomah, lantaran terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur ialah simpulan waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih terang pada artikel 'Sahur dan Berbuka', -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja
Allah k berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)
Namun bila seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa kemudian makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya lantaran sebenarnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu 'anha :
“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah setuju dalam kasus ini.

c. Melakukan kekerabatan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan komitmen para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak bisa maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak bisa juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya berdasarkan pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi pria maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melaksanakan kekerabatan suami istri lantaran lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang berpengaruh dari para ulama ialah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan lantaran lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar meliputi makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk kasus yang membatalkan puasa berdasarkan pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)

Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama ibarat Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa kasus lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim ialah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)

Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.
Namun bila muntah tersebut keluar kemudian dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan pengganti masakan ibarat infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti masakan maka hal ini membatalkan puasanya, alasannya nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama ibarat yang terdapat dalam nash.
2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa alasannya gambarannya tidak ibarat yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya ialah sahnya puasa seorang muslim hingga meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz t dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahullah dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).
Namun Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa semoga tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menjadikan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)

c. Onani
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah k berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak perempuan yang mereka miliki. Maka sebenarnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika saya tidak memberatkan umatku, pasti akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub sesudah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian dia mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah )

d. Menggauli istri selain bersetubuh
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radiyallahu 'anha :
mencium (istrinya) dan dia berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan dia berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Adalah Rasulullah n

e. Mencicipi masakan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu :
“Tidak mengapa seseorang merasakan cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari
Sebagaimana yang terdapat pada dongeng junub Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah
b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat
Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah orang yang paling dermawan, dan dia lebih gemar memberi lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya kemudian membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya ibarat pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq

(Dikutip dari goresan pena Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi)
Advertisement

Iklan Sidebar