'/> Puisi Hari Pendekar Nasional 10 November -->

Info Populer 2022

Puisi Hari Pendekar Nasional 10 November

Puisi Hari Pendekar Nasional 10 November
Puisi Hari Pendekar Nasional 10 November
Puisi Hari Pahlawan 10 November

karya : Tubagus R Ramadhan
Tersadarkah kau..
Di balik asap kelam polusi
Gemuruh roda empat beraksi
Gelak tawa orang renta basi
Masih ada….
Sosok pucat pasi itu
Tersadarkah kau…
Di bawah beling pencakar cakrawala
Tersembunyi dari muka media massa
Tertinggal atau ditinggal derap penguasa
Masih ada….
Sosok tanpa hanya bisu
Tersadarkah kau…
Saat jarak dan waktu bukan tembok besi
Kala kapitalisasi meregang nadi
Walau formalitas menjeruji hati
Masih ada….
Sosok peduli nasib negeri
Tersadarkah kau…
Saat kamu tembus riuhnya kota
Penuh dengan kesenangan berkala
Berat sebelah dikala kamu kira
Masih ada…
Sosok pejuang yang bukan palsu
Sosok itu…..
Sosok yang tak gentar, meski kebijaksanaan tak dibayar
Sosok yang bergeming, meski reaksi menggunjing
Sosok pemikul dua pilihan
Bakti hari ini atau mati esok hari
Sosok penganut dua pilihan
Peduli Negeri atau peduli pertiwi
Belum sadarkah kau
Karena mata kepalamu
Karena ketika mata hatimu
Tertutup pekatnya debu gengsi
Terbelenggu kepedulian yang terdegradasi

Untukmu Pahlawan Indonesiaku

Demi negri...
Engkau korbankan waktumu
Demi bangsa...
Rela kamu taruhkan nyawamu
Maut menghadang di depan
Kau bilang itu hiburan

Tampak raut wajahmu
Tak segelintir rasa takut
Semangat membara di jiwamu
Taklukkan mereka penghalang negri

Hari-hari mu di warnai
Pembunuhan dan pembantaian
Dan dihiasi Bunga-bunga api
Mengalir sungai darah di sekitarmu
Bahkan tak jarang mata air darah itu
Yang muncul dari tubuhmu
Namun tak dapat...
Runtuhkan tebing semangat juangmu

Bambu runcing yang setia menemanimu
Kaki telanjang yang tak beralas
Pakaian dengan seribu wangian
Basah di tubuh keringpun di badan
Yang kini menghantarkan indonesia
Kedalam istana kemerdekaan 




Ku Cinta Pahlawan Indonesia

Bagaimana kalian mengendap dalam gelap malam
di lereng strategis sebuah bukit kecil
menghadang konvoi nica

bagaimana jantung kalian deras berdebar
ketika iring-iringan kendaraan itu semakin mendekat

lalu bagaimana tubuhmu ditembus peluru
dan kamu rebah ke tanah berlumur darah
terbaring beku
di rumput ilalang
dalam lengang yang panjang
kami tak tahu
ketika itu kami belum tumbuh dirahim ibu


bagaimana kalian dalam seragam kumal
baju compang-camping
menyandang karaben Jepang
di front-front terdepan

bagaimana kalian terpelanting
dari tebing-tebing pertempuran

bagaimana kalian menyerbu tank
dengan bambu runcing

bagaimana kalian bertahan habis-habisan
ketika dikepung musuh dari segala penjuru

bagaimana kalian terbaring
di dinding-dinding kamar investigasi nefis

bagaimana kalian mengunci rapat belakang layar pasukan
dalam lisan yang teguh membisu
walau dilistrik jari-jarimu
dan dicabuti kuku-kukumu

bagaimana kesetiakawanan yang menulang-sumsum
bagaimana kaum ibu sibuk bertugas di dapur umum
bagaimana kalian sudah merasa bangga
kalau ke markas sanggup naik sepeda

bagaimana semua itu sungguh-sungguh terjadi
dan bukan dongeng
dan bukan mimpi
kami tak alami
kami belum hadir di bumi ini

bagaimana peristiwa-peristiwa itu berlangsung
pastilah satu memori yang agung
tapi ialah memori kalian
dan bukan nostalgia kami

kemerdekaan
telah kalian rebut

kemerdekaan
telah kalian wariskan
kepada negeri ini
kepada kami anak-anakmu

kemerdekaan
menjadikan kami
jadi generasi
yang tak kenal lagi
rasa rendah hati
seperti yang kalian rasakan
di zaman penjajahan

kemerdekaan
ke sekolah naik sepeda
bukan lagi segumpal rasa bangga
seperti kalian dulu
di tahun tiga puluh
kami anak-anakmu
telah kalian belikan
sepeda motor baru
untuk sekolah, ngebut dan pacaran

tetapi
kemerdekaan
yang juga bahkan
menyadarkan kami
tentang peranan yang harus kami mainkan sendiri
dengan tangan sendiri dengan keringat sendiri
sengan bahasa kami sendiri
dalam lagu cinta
tak bersisa
pada tumpah darah
Indonesia

Kemerdekaan
kami tahu
tak hanya dalam deru
sepeda motor
tak cuma meluku tanah dengan traktor

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah kami
ke gedung-gedung sekolah

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah petani
ke petak-petak sawah

kemerdekaan
alah pula pintu terbuka
bagi langkah-langkah pemilih
ke kotak-kotak suara

kemerdekaan
adalah ketika hati nurani
bebas melangkah
dengan gagah
bebas berkata
tanpa
terbata-bata 

Senyum suci tlah kauraih
terima kasih pendekar suci
semangat juang tinggi tlah kauraih
Indonesiaku gemilang kini



Di Balik Seruan Pahlawan

Kabut...
Dalam kenangan pergolakan pertiwi
Mendung...
Bertandakah hujan deras
Membanjiri rasa yang haus kemerdekaan
Dia yang semua yang ada menunggu keputusan Sakral

Serbu...
Merdeka atau mati Allahu Akbar
Titahmu terdengar kian merasuk dalam jiwa
Dalam serbuan bambu runcing menyatu
Engkau teruskan Menyebut Ayat-ayat suci
Engkau teriakkan semangat juang demi negri
Engkau relakan terkasih menahan tepaan belati
Untuk ibu pertiwi

Kini kamu lihat...
Merah hitam tanah kelahiranmu
Pertumpahan darah para penjajah keji
Gemelutmu tak kunjung sia
Lindunganya selalu di hatimu
Untuk kemerdekaan Indonesia Abadi
(Puisi Karya Zshara Aurora)


   
Pemuda Untuk perubahan

Indonesiaku menangis
Bahkan Tercabik-cabik 
Dengan hebatnya pengusaanya sang korupsi
Tak peduli rakyat menangis

Kesejahteraan jadi Angan-angan
Keadilan hanyalah Khayalan
Kemerdekaan telah terjajah
Yang tinggal hanya kebodohan

Indonesiaku, Indonesia kita bersama
Jangan hanya tinggal diam kawan
Mari kita bersatu ambil peranan
Sebagai cowok untuk perubahan 
(Puisi Karya Ananda Rezky Wibowo)




PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang kemudian beliau terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bulat di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana beliau datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa beliau datang
Kemudian beliau terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan bunyi merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang kemudian beliau terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bulat di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : saya sangat muda

SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH
Oleh: Taufiq Ismail
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah menyebarkan sedih yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’

Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah hingga kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi mayat ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN



Pahlawan

Pengarang: Ananda Tri Oktavilia

Pahlawan...
Kau sangat mengagumkan...
Kau telah mengharumkan nama Indoneaia...
Kau telah merelakan jiwa dan ragamu...
Kau telah melwan para penjajah...
Hanya dengan bambu runcing saja...
Tetapi kamu telah menang...
Kau telah berjuang keras...
Untuk melawan para penjajah...
Terima kasih pahlawan...
Kau telah menjadi pendekar bangsa...
Rakyat tidak akan melupakan pahlawan...

Nah, itulah tadi informasi mengenai Puisi Hari Pahlawan. Selamat hari Pahlawan, MERDEKA !!
Advertisement

Iklan Sidebar